29 Juni 2013.
Wayang Orang Bharata kali ini menampilkan lakon Resi Durna Gugur.
Walaupun tidak nonton rame-rame, seperti adatnya pertunjukan Mahabharata di sini selalu padat pengunjung.
Berikut adalah overview dari pertunjukan malam Minggu tersebut. Mohon maaf sebelumnya jika gambarnya kurang OK, karena tantangan terbesar dalam mengambil gambar adalah adanya penonton di depan dan bagaimana mengambil gambar tanpa mengganggu pandangan penonton di belakang kita.
Sebelum dimulai, pertunjukan dibuka dengan pementasan tari kreasi Aceh dari sebuah sanggar yang mewadahi saudara-saudara kita yang kurang beruntung, seperti Tuna Netra, Tuna Rungu, Tuna Daksa, ataupun Tuna Grahita. Dan kedepannya WO Bharata juga membuka kesempatan bagi sanggar-sanggar yang melestarikan adat Nusantara untuk tampil juga.
Tablo dibuka dengan adegan Palguna melawan Palgunadi. Pertarungan antara Arjuna dan Bambang Ekalaya karena Arjuna tertarik dengan kecantikan Dewi Anggraini, istri sang Palgunadi. Karena kesaktian yang hampir setara, Palguna sempat kewalahan menandingi kridha Palgunadi.
Datanglah Resi Durna sebagai guru resmi dari Arjuna. Bambang Ekalaya pun turut memberikan sembah kepada ‘guru’-nya tersebut. Memang sebelumnya Bambang Ekalaya juga berminat untuk menjadi murid dari Durna tapi kemudian ditolak, sehingga akhirnya Bambang Ekalaya melatih kesaktiannya di bawah bimbingan patung Durna yang dibuatnya. Menerima sembah dari ‘murid’-nya, Durna menanyakan apa rahasia kesaktiannya sehingga dapat menandingi Palguna alias Janaka. Dijawablah oleh Palgunadi bahwa kesaktiannya terletak pada cincin Mustika Ampal yang melekat di bawah kulit di jari manisnya pemberian Durna (tentu saja Resi Durna tidak pernah merasa memberikan anugerah itu karena memang tidak pernah menjadi guru dari Ekalaya secara fisik). Dengan dalih melihat cincin tersebut, segera dipotongnya jari manis berikut cincin Mustika Ampal sampai Bambang Ekalaya menemui ajalnya.
Menyadari bahwa tanda baktinya justru dibalas demikian oleh sesepuh yang dianggap gurunya, Bambang Ekalaya bersumpah bahwa dia tidak akan masuk ke nirwana sebelum bersama mengantarkan Resi Durna. Maka di perang Bharatayuda Jayabinangun nanti, Bambang Ekalaya akan menjemput gurunya tersebut untuk bersama-sama ke swargaloka.
Selesai mengucap sumpahnya, matilah Bambang Ekalaya yang diperagakan dengan cukup apik.
Berganti latar di sebuah pesanggarahan milik kubu Kurawa di tepi Tegal Kurusetra.
Prabu Bogadenta dihadap oleh patih dan prajurit-prajuritnya.
Datanglah Prabu Prameya dan Murdaningsih ke pasewakan di pesanggrahan tersebut.
Tak berapa lama, datang pulalah Resi Durna yang telah mengenakan puspita rinonce sebagai tanda bahwa ialah Senapati dari pihak Kurawa. Ditawarkannya posisi Senapati pengapit kepada Prabu Bodagenda dan Prabu Prameya yang dengan segera menyanggupinya. Maka berangkatlah segera mereka ke medan laga.
Di tapal batas, para putra wayah Pandawa sedang berjaga-jaga dengan dipimpin oleh Drestajumna.
Tak lama datanglah Prabu Bogadenta beserta prajuritnya yang menantang tanding pihak Pandhawa.
Pertempuran kedua belah pihak antara prajurit Bogadenta dengan satria pimpinan Drestajumna pun pecah.
Namun ternyata Drestajumna dan para satria dapat terdesak mundur oleh pasukan Prabu Bogadenta.
Berganti latar, di tepi palagan para panakawan yang tengah berjaga-jaga menunggu kabar ter-update dari tengah medan pertempuran bersuka ria menghibur penonton.
Datanglah Drestajumna dan para satria putra wayah pandawa yang terpukul mundur. Dikabarkanlah bahwa Kurawa telah memilih Senapati-nya, yaitu guru Durna, maka segera dilaporkanlah kabar ini kepada para Pandawa yang tengah berjaga di pesanggrahan Hupalawiya.
Di pesanggrahan Hupalawiya, Pandawa sekeluarga sedang menanti kabar dari palagan Kurusetra. Tampak bahwa Dewi Drupadi telah menggelung rambutnya kembali setelah sumpahnya terpenuhi dengan matinya Dursasana oleh Bratasena dan telah mencuci rambutnya dengan darah dari adik Duryudana yang telah mempermalukan dirinya ketika lakon Pandawa Dadu dulu.
Datanglah Drestajumna dan para satria di pasewakan tersebut, melaporkan bahwa mereka kalah oleh pasukan dari Senapati Pengapit dan Kurawa telah menunjuk Resi Durna sebagai Senapati Utamanya.
Demi mendengar hal tersebut, Kresna menunjuk Arjuna atau Bima untuk menjadi Senapati Utama menghadapi Resi Durna. Namun panegak dan panengah Pandhawa itu menolak dengan alasan tidak mau kuwalat melawan gurunya sendiri, hanya bersedia menjadi Senapati Pengapit saja. Maka oleh Prabu Kresna diutusnya mereka berdua untuk menjadi Senapati pengapit menandingi kridha Prabu Bogadenta dan pasukannya. Prabu Drupada yang hadir pada pertemuan tersebut pun mohon pamit untuk turut maju ke medan pertempuran guna memperingatkan saudara tuanya, Resi Durna, akan tindakannya menjadi Senapati di pihak Kurawa.
Majulah Bimasena berhadapan satu lawan satu dengan Prabu Prameya. Duel yang sengit tersebut akhirnya menyebabkan Prameya lari meninggalkan palagan.
Sementara itu Arjuna maju menghadapi Raden Bogadenta, dan dengan segala kesaktiannya dapat dibunuhnyalah senapati dari pihak Kurawa itu.
Tapi kagetlah Arjuna ketika Bogadenta seketika bangkit dan segar kembali saat ditangisi oleh Murdaningrum.
Dengan tandang grayangnya dan diadu kesaktiannya, Arjuna akhirnya berhasil membunuh keduanya, Bogadenta dan Murdaningrum. Namun datanglah seekor gajah yang datang dan menangisi keduanya dan seketika keduanya bangkit pulih kembali.
Memang dikisahkan dahulu Bogadenta lahir dari ari-ari Prabu Duryudana yang kemudian di buang ke hutan. Sampai suatu ketika Bogadenta bertemu dengan gajah bernama Murdiningkung dan sratinya, yakni Murdiningrum yang kemudian mereka bertiga menjadi sehati. Hal ini yang menyebabkan jika salah satu di atara mereka bertiga mati dan ditangisi oleh yang lain maka akan bangkit kembali. Arjuna yang bingung menghadapi musuhnya, apalagi menghadapi wanita macam Murdaningrum yang cantik, kemudian menghadap Prabu Kresna untuk meminta arahan. Oleh Kresna, diberikan siasat bahwa untuk bisa menghadapi musuh yang memiliki kesaktian tersebut, maka harus dibunuh ketiganya sekaligus agar jangan sampai ada yang menangisi yang lain.
Walaupun Arjuna agak ragu karena akan membunuh seorang wanita, kemudian ditariknya busur panah bersiap untuk melesatkan panah pusakanya (di beberapa cerita ada yang menyebutkan bahwa panah yang digunakan Pasopati, Trisula, atau Wastrasewu).
Panah yang melesat dari busur Arjuna itu tepat mengenai ketiga musuhnya; Prabu Bogadenta, Gajah Murdaningkung dan sratinya Dewi Murdaningrum. Matilah ketiganya.
Sementara di tempat lain, langkah Resi Durna dihadang oleh Prabu Drupada. Dengan sepenuh hati, Sucitra mengingatkan saudara tuanya, Kumbayana, bahwa sebagai sesama saudara dari Atasangin dan selaku sesepuh dari pada keturunan Bharata tidak sepantasnya ikut turun ke medan laga apalagi menjadi Senapati. Memang kedua kakak beradik itu memiliki dendam pribadi masing-masing. Dimulai ketika Kumbayana yang seharusnya berhak atas putra mahkota tapi kemudian dibuat cacat oleh Gandamana dan tidak diakui sebagai saudara oleh Sucitra yang sudah menjadi raja di Pancalareja bergelar prabu Drupada. Kumbayana yang merasa wirang membalas dengan memanfaatkan muridnya, Pandawa, untuk membawa Prabu Drupada ke hadapannya dalam keadaan terikat. Dalam dendamnya inilah, Prabu Drupada kemudian memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa sampai kemudian lahirlah Drestajumna, anaknya.
Demikianlah saudara satu seperguruan tersebut kemudian saling mengadu ilmunya masing-masing.
Menghadapi saudara seperguguannya, Kumbayana mengeluarkan panah pamungkasnya dan melesatkannya pada Prabu Drupada. Prabu Drupad yang terkena panah dari saudaranya tidak bisa mengelak dan siap menjemput ajalnya.
Mengetahui ayahnya dibunuh, bangkitlah Drestajumna dan melesat lari ke palagan. Sementara para Pandhawa sementara merawat kunarpa pepundhennya tersebut.
Selepas meruwat jenazah prabu Drupada, berundinglah Pandhawa dengan arahan strategi dari Prabu Kresna. Kresna memberikan arahan agar Bimasena mengejar musuhnya yang lari, yaitu Prameya beserta dengan gajah tunggangannya, gajah Hestitama. Jika gajah Hestitama sudah dibunuh, tugas Arjuna, Nakula, dan Sadewa adalah mengabarkan berita di tengah palagan bahwa anak Durna, Aswatama, telah mati untuk membuyarkan konsentrasi Resi Durna.
Puntadewa adalah manusia yang tidak mengenal kata goroh, alias orang yang selalu jujur dan menepati janji. Kresna meminta agar jika Durna nanti menanyai pandawa apakah benar Aswatama mati, mereka harus mengiyakan. Tentu saja Puntadewa tidak bisa berbohong seperti itu dan tidak menyanggupinya walaupun itu sebagai sarana kemenangan Pandawa. Dengan kecerdikan (atau kelicikan) Kresna, disarankannya kepada Puntadewa agar tetap tidak berbohong, cukup menjawab bahwa Hestitama mati, tapi mengucapan “Hesti..” dengan lirih dan “..tama” dengan kencang.
Di tengah palagan, Prabu Prameya yang sedang melintas tanpa menyangka datangnya Bratasena yang kemudian menggebuknya dengan Rujakpolo sampai mati. Tidak ketinggalah gajahnya, gajah Hestitama, juga dipukul Bratasena skayangnya. Sontak semua prajurit Pandawa berteriak “Aswatama mati … ASWATAMA mati …”. Resi Durna karuan saja menjadi bingung dengan berita tersebut, dan untuk membuktikannya dicarilah Pandawa, murid-muridnya yang berbudi luhur, untuk ditanyai. Sementara itu,roh Palgunadi melayang-layang di angkasa, siap untuk menjemput gurunya terkasih.
Resi Durna yang mencari Pandawa untuk ditanyai bertemu dengan Bima. Dengan tegas dijawab oleh sang Bratasena bahwa benar adanya kabar bahwa Aswatama telah mati.
Tidak percaya dengan atur Bratasena, berjalan lagi sang Guru Durna sampai bertemu dengan Arjuna. Ketika diajukan pertanyaan yang sama, Arjuna pun menyampaikan jawaban yang sama pula bahwa Aswatama telah mati.
Gamanglah hati sang Guru, walaupun masih tidak percaya dengan jawaban kedua muridnya. Berjalan lagi sampai bertemu dengan si kembar Nakula dan Sadewa. Tidak berbeda dengan jawaban saudaranya, Nakula dan Sadewa dengan kompak menjawab bahwa putra Durna sudah mati.
Bertambah hancurlah hati Resi Durna. Satu-satunya jalan untuk memperolah kejelasan adalah bertanya kepada Puntadewa, satu-satunya muridnya yang tidak pernah berbohong selama hidupnya. Dan tepatlah, yang dicari muncul di hadapannya. Prabu Puntadewa yang ditanyai oleh gurunya mengenai kebenaran kematian Aswatama, kemdian menjawab “benar, hestiTAMA mati…”
Hancur leburlah hati sang Guru Durna mengetahui bahwa anak satu-satunya telah mati, tidak ada guna lagi hidupnya apalagi berperang sebagai Senapati di Kurusetra. Diam – diam Drestajumna mengendap-endap mendekati Resi Durna. Dan tanpa banyak cakap dipenggalnyalah kepala Durna yang telah membunuh ayahnya itu.
Bambang Ekalaya yang telah menyatu ke raga Drestajumna menyambut matinya gurunya tersebut dan beriringan menuju swargaloka.
Tutup layar.