Seperti kita tahu, di bahasa Jawa ada tingkatan penggunaan untuk percakapan, mulai dari ngoko, ngoko alus, krama, sampai krama inggil.
Tidak terkecuali untuk bilangan, juga di-krama-kan.
Siji = Setunggal
Loro = Kalih
Telu = Tiga
Papat = Sekawan
Lima = Gangsal
Enem = Nenem
Pitu = Pitu
Wolu = Wolu
Sanga = Sanga
Sepuluh = Sedasa
dan seterusnya …
Ketika sudah sampai angka dua puluhan, ada 1 angka unik yang tidak sesuai kaidah, yakni 25.
Bahasa ngoko-nya : selawe
Apa bahasa krama-nya selawe?
Secara umum pasti kita jawab : selangkung.
Tetapi ternyata kata ini juga menjadi polemik, seperti yang ibu saya bilang (dan beberapa orang tua yang lain tetap meng-krama-kan selawe tetap selawe).
Karena menurut beliau, “langkung” diartikan sebagai “lewat”, kalau selangkung dapat diartikan selewatan / sekelebatan.
Tapi, dalam Bausastra Poerwadarminta 1939, ternyata kata “selangkung” adalah kata baku bahasa Jawa sebagai bentuk krama dari “selawe” dengan catatan jarang digunakan (pada waktu itu).
Jadi, sah sah saja kita memakai “selangkung” sebagai bentuk krama dari selawe, dan tetap menggunakan “selawe” dalam konteks krama sepertinya juga dapat diterima.